TIMES PATI, TEGAL – Kabut tipis masih menggantung di lereng Gunung Slamet saat Abdul Khayyi memandang ke arah perbukitan Igir Cowet. Di hadapannya, hamparan lahan pertanian sayur tampak mendominasi kawasan yang dulu ia kenal sebagai hutan lebat.
Tak ada lagi rapatnya pepohonan, tak terdengar kicau burung seperti dulu. Yang tersisa hanya tanah terbuka di lereng Gunung Slamet yang curam sunyi, namun menyimpan ancaman.
Bagi Abdul Khayyi yang merupakan pemerhati lingkungan, saat ditemui di kawasan wisata Slumpring Desa Cempaka Kabupaten Tegal, Igir Cowet bukan sekadar nama sebuah kawasan di peta, tetapi tempat itu adalah bagian dari hidupnya.
Puluhan tahun Abdul Khayyi mengamati perubahan lereng Gunung Slamet, dari hutan yang rimbun hingga perlahan gundul oleh tangan manusia. Kegelisahan itulah yang membuatnya terus bersuara, meski tak selalu didengar.
“Banjir itu bukan datang tiba-tiba,” katanya pelan namun tegas. “Itu akumulasi dari kerusakan yang sudah lama kita biarkan dan anggap sepele.”
Abdul Khayyi dikenal masyarakat Bumijawa sebagai pengelola wisata alam Slumpring Desa Cempaka. Namun di balik aktivitas pariwisata berbasis alam itu, ia lebih sering menyebut dirinya sebagai penjaga ingatan tentang bagaimana seharusnya Gunung Slamet diperlakukan.
Igir Cowet yang berada wilayah Bumijawa, sejatinya bukan kawasan wisata. Tak ada loket, tak ada papan petunjuk, apalagi fasilitas. Justru di situlah nilai pentingnya: kawasan ini berfungsi sebagai daerah resapan air dan penyangga kehidupan masyarakat di bawahnya.
Namun fungsi itu kini nyaris hilang. Abdul Khayyi menunjuk lereng Gunung Slamet yang perlahan telah berubah menjadi petak petak tanaman kentang dan sayuran.
Menurutnya, hutan lindung di wilayah tersebut telah rusak berat. Di Kabupaten Tegal saja, kerusakan mencapai puluhan hektare, sementara di wilayah Brebes lebih luas lagi.
Ketika banjir besar melanda Sungai Gung Guci beberapa hari lalu, kegelisahan Abdul Khayyi berubah menjadi keprihatinan yang dalam. Air yang meluap membawa lumpur dan material dari hulu, menjadi bukti nyata bahwa alam sedang memberi peringatan.
“Kami sudah lama bicara, berdiskusi, mengingatkan,” ujarnya. “Tapi sering kali penanaman hanya jadi acara seremonial. Setelah bibit ditanam, tidak ada yang merawat.”
Baginya, menanam pohon bukan sekadar memasukkan bibit ke tanah. Ada tanggung jawab jangka panjang: menjaga, merawat, memastikan hutan kembali menjalankan fungsinya. Musim hujan seperti sekarang, menurutnya, adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
Abdul Khayyi percaya, solusi hanya bisa ditemukan jika semua pihak mau melihat langsung kenyataan di lapangan. Pemerintah daerah, Perhutani, pelaku wisata Guci, hingga masyarakat, harus duduk bersama bukan di balik meja rapat, tetapi di lereng gunung yang terluka.
“Hutan ini bukan milik satu generasi,” katanya sambil menatap Slamet yang menjulang. “Kalau kita rusak hari ini, anak cucu kita yang menanggung akibatnya.”
Di tengah dinginnya udara pegunungan, suara Abdul Khayyi terdengar seperti doa sekaligus peringatan. Tentang hutan yang harus dikembalikan, tentang air yang harus dijaga, dan tentang Gunung Slamet yang seharusnya tetap jadi sumber kehidupan, bukan sumber bencana.
Dirnya berpesan dengan tegas bila hal ini baru Part 1 dan akan menjadi hal besar bila didiamkan dan terus tak ada geming di semua pihak merawat Gunung Slamet
"Lambat Laun kita akan kehilangan potensi dan kebanggaan masyarakat Kabupaten Tegal, jadi mari kita selaraskan untuk kembali hijaukan alam Gunung Slamet agar semua mahluk terlindungi dan alam akan tersenyum" pungkasnya tegas (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ketua Aliansi Lereng Gunung Slamet Tegal Peringatkan Potensi Bahaya dari Igir Cowet
| Pewarta | : Cahyo Nugroho |
| Editor | : Ronny Wicaksono |