TIMES PATI, MALANG – PHK massal yang melanda industri media massa belakangan ini bukan sekadar efek efisiensi, tapi tanda bahwa dunia jurnalistik sedang sakit keras.
Hal ini ditegaskan Moh. Sulhan, S.T., M.KOM., Direktur Politeknik Universitas Islam Malang, yang menyebut krisis ini akan menghilangkan profesi jurnalis sebagai penjaga demokrasi.
Ia juga menilai banyak media besar hari ini tersandera oleh kepentingan pemilik modal dan elite politik, membuat redaksi tak lagi independen. Alhasil, keputusan PHK kerap lebih karena strategi bisnis, bukan kepentingan jurnalistik.
"Media arus utama gagal beradaptasi dengan zaman. Mereka masih berpikir ala koran cetak, padahal pembaca kini menuntut informasi cepat, visual, dan dialogis. Tanpa pembaruan cara pikir dan sistem, kata dia, krisis ini akan terus berulang. Yang terancam bukan cuma pekerjaan jurnalis, tapi masa depan demokrasi kita,” ujarnya.
Perspektif Akademik terhadap Media Massa
Bagaimana Anda melihat fenomena PHK massal di media Indonesia secara akademik? Apakah ini gejala permukaan dari krisis struktural yang lebih dalam?
Secara akademik, fenomena PHK massal di industri media bukan sekadar persoalan efisiensi tenaga kerja, melainkan gejala permukaan dari krisis struktural yang lebih kompleks dan mendalam.
Pertama, Model Bisnis Usang: Hal ini menunjukkan bahwa media masih ketergantungan pada iklan sebagai sumber utama pendapatan, hal ini sudah tidak lagi relevan di era digital. Harusnya Media mengembangkan diversifikasi pendapatan sesuai era digital.
Kedua, Disrupsi Teknologi: Platform digital global menggeser kontrol distribusi informasi. Media kini menjadi follower algoritma (dikontrol), bukan lagi pemilik agenda (mengontrol).
Ketiga, Kepemilikan dan Tata Kelola: Konglomerasi media menyebabkan homogenisasi konten dan orientasi pasar, bukan publik. Ini membuat media kurang adaptif terhadap perubahan lokal atau isu akar rumput.
Keempat, Krisis Kepercayaan Publik: Rendahnya kredibilitas dan ketergantungan pada clickbait membuat jurnalisme kehilangan fungsi sosialnya. Dan selaian itu sebagian publik menilai media sudah tidak independen lagi, terlalu politis, atau hanya menjadi corong pihak tertentu. Ini menyebabkan penurunan loyalitas dan kepercayaan.
Dalam kajian ekonomi politik media, bagaimana posisi krisis ini jika dikaitkan dengan sistem kepemilikan media di Indonesia?
Hal tersebut nyambung dengan yang saya sampaikan sebelumnya yaitu Kekepemilikan, tata Kelola, dan berdampak pada homogenisasi konten.
Kajian ekonomi politik media memandang media bukan hanya sebagai saluran informasi, tapi sebagai institusi ekonomi dan ideologis yang berada dalam sistem kekuasaan tertentu.
Apakah Anda melihat kegagalan media arus utama dalam melakukan adaptasi epistemologis terhadap disrupsi digital?
Pertanyaan ini sangat penting, karena menyentuh aspek yang lebih mendalam: bukan hanya soal teknologi atau bisnis, tetapi cara berpikir (epistemologi) media dalam menghadapi perubahan zaman.
Ya secara umum, media arus utama di Indonesia gagal melakukan adaptasi epistemologis, karena mereka masih terjebak pada paradigma lama dalam memproduksi dan memaknai informasi, sementara lingkungan digital telah mengubah struktur pengetahuan, sumber otoritas, dan cara publik mengonsumsi informasi.
Keruntuhan Model Bisnis dan Desentralisasi Informasi
Bagaimana Anda memandang model bisnis media konvensional saat ini? Apakah memang sudah tidak relevan atau hanya perlu dimodifikasi?
Pertanyaan ini menyentuh inti perubahan struktural media: antara mempertahankan yang lama atau merancang ulang secara radikal.
Model bisnis media konvensional (yang berbasis iklan, oplah, dan kepemilikan terpusat) bukan sekadar ketinggalan zaman, melainkan secara sistemik sudah tidak relevan dalam menghadapi logika ekonomi digital yang desentralistik dan berbasis atensi (attention economy). Namun, bukan berarti seluruh elemen model lama harus ditinggalkan-perlu dilakukan modifikasi mendasar.
Dalam konteks kapitalisme digital, seberapa besar dominasi platform global (seperti Google & Meta) berperan dalam meruntuhkan daya saing media lokal?
Iklan digital adalah sumber pendapatan utama media. Ketika korporasi besar mengalihkan anggaran iklan ke Google/Meta (karena lebih murah, terukur, dan masif), media lokal kehilangan napas finansialnya.
Media lokal sulit bersaing karena: Tidak punya ad targeting tools sekuat platform Tidak mampu membangun ekosistem big data pengguna seperti platform global. Tidak memiliki skala dan distribusi jaringan global.
Apakah seharusnya negara hadir dalam meregulasi ketimpangan ekosistem ini?
Tentu saja Negara harus hadir. Peran negara dalam menjamin keadilan ekosistem informasi, yang semakin krusial di era dominasi platform digital global.
Seperti halnya: Negara punya mandat untuk melindungi ekosistem ekonomi nasional, termasuk sektor strategis seperti jurnalisme, Jurnalisme bukan sekadar bisnis tapi ia bagian dari pilar demokrasi, Negara berkewajiban menjaga kelangsungan jurnalisme yang independen dan berkualitas.
Yang perlu diperlu diperhatikan betul adalah “Kedaulatan Informasi” yaitu “Jika informasi publik dikendalikan oleh korporasi luar negeri, negara kehilangan kendali atas arus informasi strategis (misinformasi, propaganda, pengaruh asing)”.
Implikasi Sosial-Ekonomi dan Politik PHK Wartawan
Bagaimana Anda menilai dampak sosial ekonomi dari PHK massal terhadap kualitas hidup wartawan sebagai pekerja intelektual?
Wartawan sebagai pekerja intelektual yang rentan terpinggirkan di tengah disrupsi digital dan komersialisasi informasi, dimana mereka sebagai pekerja intelektual publik, penyedia informasi, penjaga demokrasi, dan penghubung antar warga negara.
Ketika mereka kehilangan pekerjaan, yang terancam bukan hanya nafkah, tetapi juga identitas profesi (kehilangan peran sosial), Rasa harga diri intelektual (merasa tidak lagi dibutuhkan dalam ekosistem publik), dan Ketidakpastian jangka panjang (profesi dianggap tidak menjanjikan) sehingga dimungkinkan banyak wartawan terpaksa migrasi professional menjadi content creator, buzzer, atau bahkan ghostwriter seperti buku, jurnal artikel, pidato, dan bahkan tulisan/naskah untuk kepentingan politik/komersial.
Dari perspektif sosiologi profesi, apakah profesi jurnalis masih memiliki prestige dan jaminan keberlangsungan hidup?
Profesi jurnalis saat ini tengah mengalami erosi prestise dan kehilangan jaminan keberlangsungan hidup, meskipun perannya secara normatif tetap vital bagi masyarakat.
Sebuah profesi dianggap masih memiliki prestise jika memiliki reputasi yang tinggi di masyarakat, diukur dari nilai sosial, status, dan pengaruhnya dalam kehidupan orang lain.
Secara singkat, profesi yang prestise biasanya dianggap sebagai profesi yang membutuhkan keterampilan khusus, pendidikan tinggi, dan memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat, sehingga mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari orang lain.
Ada kesan status sosial jurnalis: Turun dari “Penjaga Demokrasi” ke “Pekerja Konten”: Dulu, jurnalis dihormati sebagai watchdog of democracy atau Pengawas Demokrasi.
Kini, di mata publik awam, jurnalis sering disamakan dengan buzzer, influencer, atau bahkan dianggap partisan. Trust terhadap media menurun, yang berimbas langsung pada prestise profesi jurnalis.
Sejauh mana PHK ini bisa memicu de-skilling dan migrasi profesi besar-besaran dari sektor jurnalisme ke sektor informal?
Dalam dunia profesi, keterampilan (skills) bukan hanya didapat lewat pendidikan, tapi terutama melalui Praktik kerja yang berkelanjutan, Lingkungan profesional yang mendukung pembaruan pengetahuan, dan Interaksi dengan jaringan sosial-profesional (peer learning)
Sehingga terjadi de-skilling seperti halnya kehilangan arena praktik untuk mempertahankan dan mengembangkan keahliannya penulisan dalam verifikasi fakta, reportase lapangan, riset naratif, atau jurnalisme investigatif. Dalam waktu singkat, keterampilan khas jurnalis bisa menjadi usang atau tidak relevan, terutama di tengah cepatnya perubahan teknologi media.
Setelah PHK, banyak jurnalis tidak memiliki jalur re-integrasi ke media lain karena pasar kerja jurnalisme sedang menyusut, dan mereka kemudian masuk ke sector informal: jadi ojek online, berdagang kecil-kecilan, freelance konten.
Menjadi pekerja lepas digital: copywriter, content creator, bahkan buzzer politik. Mengisi posisi di industri tanpa keterkaitan langsung dengan jurnalisme (call center, admin sosial media).
Literasi Publik dan Kegagalan Media Arus Utama
Apa indikator bahwa literasi publik terhadap media melemah, dan bagaimana hubungannya dengan menurunnya kredibilitas media?
Kita dapat melihat Bersama bahwa literasi publik yang lemah dan kredibilitas media arus utama yang terus menurun, hal ini dikarenakan:
Pertama, Tingginya Kepercayaan Publik terhadap Sumber Tak Terverifikasi, seperti halnya dari media sosial yaitu berita dari TikTok, Instagram, WhatsApp yang tanpa melalui proses verifikasi.
Kedua, Mudahnya Publik Terjebak Hoaks dan Disinformasi. Tumbuhnya Budaya Konsumsi Instan, dimana Masyarakat lebih memilih judul viral, meme, dan potongan video pendek daripada laporan mendalam atau berita investigasi, Hal ini membuat konten jurnalisme berkualitas kalah saing dengan konten “cepat dan ringan”.
Hal tersebut berdampak pada Turunnya Kredibilitas Media: Pertama, Publik yang kurang literat-tidak mampu memilah mana media kredibel.
Kedua, Media tertekan oleh algoritma dan kebutuhan klik-terjebak dalam produksi berita dangkal/sensasional.
Ketiga, Kredibilitas media menurun di mata publik karena dianggap bias, lambat, atau tidak relevan.
Keempat, Publik makin berpaling ke media sosial-memperparah krisis kepercayaan pada media.
Apakah Anda melihat adanya keterputusan antara cara kerja jurnalisme konvensional dengan preferensi generasi digital native?
Ya, ada keterputusan signifikan antara cara kerja jurnalisme konvensional dengan preferensi generasi digital native. Fenomena ini dapat dilihat sebagai mismatch epistemologis yaitu ketidaksesuaian antara cara produksi informasi media tradisional dengan cara konsumsi dan ekspektasi generasi muda terhadap informasi.
Pertama, jurnalisme konvensional mengandalkan narasi panjang, proses verifikasi, dan penulisan berita formal. Digital native cenderung memilih konten pendek, visual, interaktif (video singkat, meme, reels). Akibatnya, laporan investigatif panjang atau artikel mendalam sering dianggap “terlalu berat” atau “kurang relevan”.
Kedua, Jurnalis tradisional berpikir linier (judul, lead, isi), sedangkan generasi muda akrab dengan sistem algoritmik dimana konten disesuaikan berdasarkan behavior, bukan struktur narasi.
Ketiga, Media lama lambat mengadopsi prinsip-prinsip personalized content, padahal itulah harapan konsumsi sekarang.
Keempat, Jurnalisme lama didasarkan pada otoritas top-down (media menyampaikan, publik mendengar).
Kelima, Digital native terbiasa dengan model interaktif dua arah: komentar, reaksi, partisipasi, bahkan membuat ulang berita (remix culture).
Keenam, Media konvensional mengandalkan kredibilitas institusi (nama besar redaksi).
Ketujuh, Generasi muda lebih mempercayai rekomendasi dari peer atau influencer daripada otoritas media.
Dalam aspek budaya komunikasi, bagaimana perubahan pola konsumsi informasi masyarakat membentuk ulang relasi antara publik dan media?
Transformasi utama dalam budaya komunikasi adalah pergeseran masyarakat dari posisi sebagai konsumen pasif informasi (pada era media massa) menjadi produsen sekaligus konsumen aktif (prosumer) di era media digital. Hal ini menyebabkan:
Pertama, Relasi vertikal (media ke publik) berubah menjadi relasi horizontal (antar pengguna).
Kedua, Masyarakat sekarang lebih banyak terpapar informasi berdasarkan personalisasi algoritmik, bukan karena kredibilitas media.
Ketiga, Emosi menjadi penggerak utama dalam penyebaran dan konsumsi informasi (misalnya kemarahan, empati, atau kejutan).
Keempat, Saat ini Tidak ada lagi narasi tunggal nasional tetapi masyarakat mengonsumsi informasi dari “filter bubble” atau “echo chamber” masing-masing, sehingga hal ini membuat media tidak lagi menjadi “wakil suara publik”, melainkan satu dari sekian banyak suara di ruang digital.
Kelima, Video singkat, meme, live streaming, dan thread menjadi sarana komunikasi dominan, sehingga Bahasa jurnalistik konvensional dianggap terlalu kaku atau lambat dalam menangkap dinamika budaya populer
Regulasi, Peran Negara dan Kegentingan Ekosistem Media
Bagaimana Anda menilai efektivitas peran negara melalui Kominfo, Dewan Pers, maupun kebijakan fiskal dalam merespons krisis media ini?
Penilaian atas Efektivitas Peran Negara melaui: Kominfo saat ini lebih mengedepankan pada sisi regulasi infrastruktur digital dan pengendalian konten (seperti sensor, hoaks, dan moderasi), Minim intervensi konkret terhadap keberlangsungan ekonomi media lokal atau jurnalisme berkualitas.
Dewan Pers, Fokus pada aspek etik dan profesionalisme pers, bukan ekonomi media. dan Kebijakan Fiskal & Stimulus, Tidak ada roadmap kebijakan fiskal nasional yang menyasar transformasi industri media,
Seperti: Dana riset dan inovasi media digital local, Pendanaan jurnalisme publik (public interest journalism), Insentif untuk kolaborasi media dengan UMKM atau startup teknologi Regulasi Adil, perlunya regulasi adil soal pembagian revenue iklan khususnya pada platform digital global (seperti: Google, Meta) yang telah mendominasi teknologi digital di Indonesia.
Perlukah dibentuk Public Media Fund atau semacam dana subsidi negara untuk menjamin keberlanjutan media independen dan lokal?
Menurut saya: Ya, sangat perlu dibentuk Public Media Fund atau dana publik sejenis sebagai instrumen negara untuk menjamin keberlanjutan media independen, lokal, dan jurnalisme kepentingan publik, terutama di tengah krisis ekosistem media saat ini. Dengan beberapa alasan:
Pertama, Model bisnis iklan konvensional terindikasi kolaps, karena belanja iklan digital banyak terserap oleh platform global (seperti: Google, Meta).
Kedua, Media independen dan lokal tidak memiliki kapasitas daya saing teknologi, distribusi, maupun analitik data setara korporasi besar.
Ketiga, Jurnalisme bukan sekadar komoditas, tetapi infrastruktur demokrasi dan literasi warga.
Kedua, Seperti pendidikan dan kesehatan, akses terhadap informasi berkualitas harus dijamin oleh negara, terutama bagi masyarakat marjinal dan daerah terpencil.
Ketiga, Di Indonesia, kepemilikan media sangat terkonsentrasi pada kelompok konglomerat.
Keempat, Media lokal dan komunitas seringkali tidak survive secara ekonomi, padahal mereka berperan penting dalam kontrol sosial dan pengawasan pemerintah lokal.
Apa pandangan Anda terkait kemungkinan reformasi UU Pers dalam menjawab tantangan zaman digital?
Jika dilihat Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999) perlunya ditinjau dan dikaji ulang sehubungan dengan semakin mendesak di tengah perubahan drastis ekosistem media akibat disrupsi digital, dominasi platform global, dan keruntuhan model bisnis jurnalistik.
Dengan catatan UU Pers Perlu Diperbarui, Bukan Dilemahkan. Karena UU No. 40/1999 sendiri merupakan bagian dari sejarah karena menjamin kemerdekaan pers pasca-Orde Baru.
Namun dalam hal ini dibuat dalam konteks media cetak dan analog. Saat ini, tantangan utama bukan lagi represi negara, tetapi asimetri kekuasaan digital, disinformasi, dan kerapuhan ekonomi media.
UU Pers belum secara eksplisit mengatur atau mengakui adanya Media siber (online), Konten kreator jurnalistik di platform seperti YouTube atau podcast.
Perlunya perangkat untuk melindungi media lokal dari ketimpangan relasi ekonomi seperti Insentif fiscal, dukungan transformasi digital, subsidi untuk jurnalisme publik, Regulasi revenue-sharing, Hak negosiasi kolektif media, dan Kode etik algoritma distribusi berita.
Jalan Tengah dan Rekomendasi Akademik
Dalam pandangan Anda, seperti apa bentuk media masa depan yang ideal bagi demokrasi digital Indonesia?
Menurut saya dengan mendesain ulang masa depan media agar tetap relevan, berdaulat, dan berpihak pada publik di era demokrasi digital.
Apakah kolaborasi antara media, universitas, dan komunitas bisa menjadi alternatif bentuk keberlanjutan media publik?
Menurut saya, Ya, kolaborasi antara media, universitas, dan komunitas sangat potensial menjadi alternatif strategis untuk menciptakan keberlanjutan media publik di era digital. Kolaborasi ini bisa membentuk ekosistem baru yang lebih independen, berdaya tahan, dan berbasis kepentingan publik.
Apa saja elemen utama yang harus dibangun ulang dari ekosistem media agar dapat pulih dan tumbuh sehat?
Untuk memulihkan dan menyehatkan ekosistem media, kita perlu membangun ulang fondasi-fondasinya, bukan hanya menambal masalah teknis.
Di mana Elemen Utama yang Harus Dibangun Ulang dalam Ekosistem Media: Model Bisnisnya, Kualitas & Integritas Konten Jurnalistik, Infrastruktur Digital & Teknologi Terbuka.
Terakhir, apa rekomendasi Anda secara akademik bagi negara, industri, dan kampus dalam menyelamatkan ekosistem pers nasional?
Rekomendasi akademik untuk menyelamatkan ekosistem pers nasional perlu diarahkan pada reformasi struktural, kolaborasi lintas-sektor, dan keberpihakan pada kepentingan publik.
Menyelamatkan ekosistem pers nasional tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak. Ini harus menjadi proyek kolaboratif antara negara, industri, kampus, dan komunitas—dengan prinsip transparansi, keberlanjutan, dan keberpihakan pada publik. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Moh Sulhan: PHK Media Massa, Hilangnya Profesi Penjaga Demokrasi
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Ronny Wicaksono |