https://pati.times.co.id/
Kopi TIMES

Makna Lebaran: Lebih dari Sekedar Baju Baru

Rabu, 27 Maret 2024 - 12:33
Makna Lebaran: Lebih dari Sekedar Baju Baru Mukani, Dosen STIT Urwatul Wutsqo Bulurejo Jombang

TIMES PATI, JOMBANG – Menjelang pekan terakhir bulan suci Ramadan, masyarakat kita lebih disibukkan dengan agenda membeli baju baru. Budaya yang sudah berlangsung dari tahun ke tahun ini seolah menjadi ritual wajib. Tidak malah sibuk dalam memperbanyak berbagai amaliyyah untuk menyambut malam Lailatul Qodar. 

Makna Substantif

Secara normatif, sebagaimana penjelasan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, terdapat tiga tingkatan orang berpuasa. Pertama, puasanya masyarakat umum ('awam). Pada tingkatan ini, orang puasa hanya berusaha meninggalkan larangan-larangan puasa yang bersifat biologis, seperti makan, minum, merokok, berhubungan intim dan sebagainya. 

Kedua, puasanya orang-orang tertentu (khawas). Di tingkatan kedua ini, orang tidak hanya meninggalkan larangan biologis, tetapi juga semua tindakan dan sikap yang mampu mengurangi pahala puasa yang sedang dilaksanakannya itu, seperti berbicara kotor, mendengar fitnah, gosip, mengumpat dan sebagainya. Di samping itu, tingkatan ini juga mengharuskan seseorang untuk tidak memakan sesuatu yang status hukumnya belum jelas (syubhat) dan tidak sampai kenyang saat berbuka puasa. 

Ketiga, puasanya orang yang super khusus (khawashul khawas). Artinya, pada tingkatan ini netralitas orang dalam berpuasa sudah tidak bisa ditawar lagi. Orang harus melepaskan batasan-batasan duniawi yang temporer menuju pemaknaan yang benar tentang arti hidup menuju alam ukhrawi yang transenden. Dalam berpikir saja, orang pada tingkatan ini sudah harus meninggalkan semua ambisi duniawi, apalagi berpikir negatif. 

Ketiga tingkatan tersebut bukan merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan jika pemaknaan dari setiap ibadah seorang muslim tidak terjebak kepada aspek ritual semata. Prinsip kontinyuitas (istiqamah) harus dilaksanakan dengan baik ketika sedang melaksanakan ibadah, sehingga diharapkan mampu melahirkan sebuah spirit (ghirrah) untuk meraih prestasi, bukan sekedar prestise yang selama ini cenderung dibanggakan manusia modern. 

Baju Baru

Sampai detik ini, budaya masyarakat Indonesia masih terjebak kepada aspek formalistik dalam memaknai sesuatu. Seolah sudah menjadi tradisi yang tidak bisa dirubah menjelang Lebaran, pasar-pasar tradisional di berbagai daerah akan diserbu oleh masyarakat yang hendak belanja baju baru. Entah sebagai sebuah gengsi atau pemahaman yang minim terhadap substansi Hari Raya Idul Fitri. Namun adigum Jawa ajining raga saka busana diinterpretasikan juga berkontribusi kepada terbentuknya tradisi ini.

Perspektif sosiologis menginterpretasikan bahwa fenomena ini menyuguhkan sudut pandang (point of view) yang berbeda dari substansi Lebaran itu sendiri. Dalam doktrin Islam, Lebaran seharusnya merupakan momentum yang tepat untuk membuka diri dengan segala pandangan luasnya terhadap cakrawala dunia untuk "sekedar memaafkan" kesalahan orang lain di masa lalu. 

Jauh dari itu, selama satu bulan penuh di bulan Syawal, orang yang telah melewati bulan Ramadan sebenarnya dituntut untuk semakin meningkatkan amaliyyah yang pernah dikerjakan. 

Realita di masyarakat kita justeru sebaliknya. Setiap Lebaran tiba, maka kemalasan akan datang kembali, sebagaimana sebelum Ramadhan tiba. Mushala akan sepi kembali dari tadarrus. Masjid-masjid akan kosong kembali, tidak akan ditemui jama’ah yang berjubel untuk shalat bersama, sebagaimana saat shalat Tarawih. 

Untuk itu, substansi makna Lebaran yang direduksi hanya menjadi memakai baju baru, sangat naif dilakukan di saat bangsa ini masih terjebak dalam kubangan krisis multidimensional. Makna Lebaran yang benar akan mampu membawa orang yang "sudah berproses" di bulan Ramadhan menjadi sosok yang semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Termasuk meningkatkan perhatiannya kepada nasib kaum lemah (mustadh'afin) di sekelilingnya yang masih belum beruntung itu. Inilah sebenarnya yang disebut puasa sebagai media pendidikan mental bagi kaum muslim. 

Substansi puasa di bulan suci Ramadhan ini akan diperoleh jika terdapat peningkatan perilaku secara positif pada diri seorang muslim dalam semua aspek kehidupannya pada kurun waktu satu tahun ke depan. Karena, jika seorang muslim cerdas, makna kemenangan Ramadhan bukan sekedar rutinitas mengenakan baju baru saat Hari Lebaran nanti. (*)

***

*) Oleh : Mukani, Dosen STIT Urwatul Wutsqo Bulurejo Jombang

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pati just now

Welcome to TIMES Pati

TIMES Pati is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.