TIMES PATI, YOGYAKARTA – style="text-align:justify">Fenomena bunuh diri kembali menjadi sorotan setelah sejumlah kasus mencuat di media sosial maupun pemberitaan arus utama. Mirisnya, banyak korban berasal dari kalangan perempuan, terutama ibu rumah tangga yang memikul beban ganda di tengah tekanan ekonomi.
Manajer Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada, Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog, menyebut kasus bunuh diri tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial, psikologis, maupun ekonomi. Tekanan hidup yang berat—baik bersifat akut maupun kronis, dapat membuat seseorang merasa tak lagi mampu mengendalikan situasi.
“Perempuan seringkali harus menjalani peran ganda sebagai istri, ibu rumah tangga, bahkan tulang punggung keluarga. Beban berlapis ini bisa membuat individu jatuh pada titik paling rendah,” ungkap Nurul, Sabtu (20/9/2025).
Beban Ganda dan Stigma Sosial
Menurutnya, ketika tanggung jawab ganda itu ditambah dengan stigma sosial, standar norma masyarakat, hingga tekanan ekonomi seperti teror penagih utang, kesehatan mental perempuan semakin rentan terganggu. Situasi tersebut berpotensi memicu tindakan ekstrem seperti bunuh diri yang dianggap jalan terakhir.
Nurul menambahkan, stres berat, kecemasan berlebih, hingga overthinking dapat memperburuk kondisi mental. Apalagi jika individu tidak memiliki kemampuan mengelola emosi dan pikiran dengan baik. “Perasaan putus asa membuat seseorang merasa tidak ada lagi harapan untuk keluar dari masalah,” jelasnya.
Dampak Dunia Digital
Selain faktor internal dan sosial, budaya digital juga turut berpengaruh. Paparan berita bunuh diri di media sosial dapat memunculkan fenomena copycat suicide, di mana individu terdorong melakukan hal serupa setelah melihat kasus yang diberitakan. “Interaksi di dunia digital bisa memberi kontribusi signifikan terhadap kondisi mental seseorang,” tegas Nurul.
Untuk mencegah maraknya kasus bunuh diri, CPMH UGM menilai diperlukan langkah komprehensif. Nurul menekankan pentingnya literasi kesehatan mental agar masyarakat mampu melakukan deteksi dini, serta memperkuat ketahanan diri perempuan melalui akses layanan psikologis yang terjangkau.
Tak kalah penting, ia juga mengajak media dan tokoh publik untuk mengubah narasi seputar perempuan dan kesehatan mental ke arah yang lebih empatik.
“Peran media sangat besar dalam mengurangi stigma sosial. Narasi yang penuh dukungan akan membantu perempuan merasa tidak sendirian menghadapi masalah,” ujarnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kasus Bunuh Diri Perempuan Meningkat, CPMH UGM Soroti Soal Ini
Pewarta | : A. Tulung |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |